Imam Ahmad Melawan Penguasa Zalim

Imam Ahmad adalah teladan dalam hal kesabaran dalam memegang prinsip kebenaran. Murid Imam Syafi’i ini tidak gentar menghadapi celaan orang yang mencela, siksa yang mendera, sehingga gelar imam pun sangatlah layak baginya.
Ulama masa Tabiut Tabiin ini dimusuhi oleh Khalifah Al-Mu’tashim, Al-Makmun, dan Al-Watsiq dengan ancaman penjara, pengusiran, dan pembunuhan. Bahkan seluruh penduduk negeri dan para ulama sezamannya meninggalkan beliau tanpa mampu memberikan pertolongan yang berarti.
Namun ulama fikih yang bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibany  Al-Marwazy Al-Baghdady[1] ini  tidak sudi mengabulkan permintaan penguasa yang memaksakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Jawaban beliau hanyalah yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah yaitu, Al-Qur’an adalah kalam Allah.
Ulama yang dipanggil Abu Abdillah ini tidak menyembunyikan ilmu, tidak pula bertaqiyyah, tetapi berani menampakkan yang benar yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihii Wasallam. Ia tegas walaupun di hadapan para penguasa yang zalim. Rasulullah Shalallahu ‘alaihii Wasallam pernah bersabda :

أحب الجهاد إلى الله كلمة حق تقال لإمام جائر

“Jihad yang paling disukai oleh Allah adalah mengatakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
Putranya, Shalih bin Ahmad bin Hanbal menceritakan, “Ketika itu semua manusia ditanya oleh para penguasa dengan sikap mereka terhadap anggapan Al Quran adalah makhluk, siapa saja yang membangkang akan dikirim ke dalam penjara. Maka semua manusia menyatakan hal itu kecuali empat orang, bapakku, Muhammad bin Nuh, Al-Qawariry dan Al-Hasan bin Muhammmad Sujjadah. Namun kemudian  Al-Qawariry dan Al-Hasan bin Muhammad mengikuti para penguasa tersebut hingga tinggal dua orang yang tetap pada pendiriannya, yaitu bapakku dan Muhammad bin Nuh.” [2]
Imam Ahmad pun dipenjara setelah kematian Muhammad bin Nuh. Siksaan penjara yang begitu keras membuat kawan-kawannya dalam penjara menganjurkan beliau agar bertaqiyyah di hadapan para penguasa tersebut, sebagaimana yang dikisahkan oleh  Muhammad bin Ibrahim Al-Busyanjy, katanya:
“Mereka (kawan-kawan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah) menganjurkan beliau untuk bertaqiyah, maka beliau berkata, ‘Bagaimana sikap kalian dengan hadits Khabab Radhiyallahu ‘anhu :

إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ يُنْشَرُ أَحَدُهُمْ بِالْمِنْشَارِ، لَا يَصُدُّهُ ذَالِكَ عَنْ دِيْنِهِ

‘Sesungguhnya orang sebelum kalian ada yang digorok dengan gergaji, tetapi itu tidak memalingkannya dari diennya.’
Pantaskah bila kita akan putus asa?”[3]
Imam Ahmad mengisahkan dirinya,     “ketika dibawakan cambuk kepada Al-Mu’tashim, ia berkata kepada algojonya, ‘Majulah kalian!’ Maka salah seorang di antara mereka mendekatiku, lalu mencambukku dua kali kemudian mundur kembali. Berikutnya majulah algojo lainnya  dan mencambukku dua kali dan mundur. Ketika aku sudah dicambuk sebanyak tujuh belas kali Al-Mu’tashim berdiri dan mendekatiku seraya berkata, ‘Wahai Ahmad! Untuk apa engkau mencelakakan dirimu? Sungguh aku sangat kasihan kepadamu.’
Sambil menempelkan ujung pedang ke tubuhku, ia berkata, ‘Apakah engkau ingin mengalahkan mereka semua?’ Seorang pengawal khalifah berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, nyawanya dalam tanggunganku.”
Kemudian  Khalifah berkata, ‘Celaka kamu wahai Ahmad, apa yang akan kamu katakan?’ Aku menjawab, ‘Berikanlah kepadaku sesuatu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihii Wasallam niscaya aku mengatakan berdasarkan itu.”
Kemudian Khalifah memerintahkan kepada algojonya untuk mencambuk lagi hingga aku pingsan. Dan ketika aku siuman aku mendapati rantai yang membelenggu tubuhku sudah terlepas.
Akhirnya masih dalam keadaan sakit Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah dibebaskan dari penjara setelah dua puluh delapan bulan beliau ditahan.[4]
Begitulah Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah Kegigihannya mempertahankan akidah yang benar menyebabkan harus bersinggungan dengan petinggi Bani Abbasyiah yang berkuasa pada waktu itu. Berbagai intimidasi, siksaan dan teror beliau alami demi mempertahankan prinsip akidah yang telah mendarah daging dalam diri beliau. Hingga akhirnya Al-Mutawakkil memangku jabatan sebagai khalifah Bani Abbasiyah menggantikan Al-Watsiq, rakyat pun bergembira menyambutnya karena beliau dikenal sebagai orang yang cinta terhadap Sunnah dan siapa saja yang berpegang teguh dengannya.
Khalifah Al-Mutawakkil kemudian memberantas fitnah syubhat yang telah mengakar sejak tiga khalifah sebelumnya. Ia memurnikan kembali akidah umat Islam dari pemikiran dan aliran yang menyimpang dari ajaran Islam. Ia kemudian menulis surat ke seluruh pelosok  negeri yang isinya : Tidak diperbolehkan seorang pun untuk mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”.
Demikianlah keadaan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah selama terjadinya fitnah. Berkat keteguhan dan ketabahan menghadapi fitnah yang sangat besar ini, akhirnya akidah umat Islam dapat diselamatkan dari penyimpangan dan syubhat.
___________________________
[1] Lihat Siyarul A’lam An Nubala’,Imam Adz Dzahaby 11/ 17
[2] Lihat Siyarul A’lam An Nubala’,Imam Adz Dzahaby 11/ 238
[3] Lihat Siyarul A’lam An Nubala’,Imam Adz Dzahaby 11/ 239
[4] Lihat Siyarul A’lam An Nubala’,Imam Adz Dzahaby 11/ 252

KIBLAT.NET 
0 Komentar untuk "Imam Ahmad Melawan Penguasa Zalim"

Postingan Populer

Back To Top